Memasuki kamar mayat dirumah sakit mana pun adalah sama. Begitu masuk, bukan tercium bau mayat yang mungkin sudah membusuk, tetapi bau senyawa pengawet yang menyengat dapat mengeluarkan air mata dan kemungkinan besar bagi yang tak biasa atau bau menciumnya akan meyebabkan muntah-muntah. Dengan demikian, tidak aneh para petugas terkait memakai masker, yang menutupi hidung dan mulutnya.
Inilah formalin, senyawa kimia yang lebih umum dikenal sebagai pengawet mayat di kamar mayat sebelum dibawah oleh keluarganya. Akan tetapi sekarang, mengapa ada pengusaha atau pedagang yang tega menggunakan formalin (senyawa pengawet) tersebut, bukan untuk pengawet mayat tetapi justru untuk pengawet makanan???
Dari data dan informasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Departemen Kesehatan yang beredar/sudah disiarkan oleh beberapa media masa, tercatat lebih dari 80% (86,2%) mie basah yang banyak dijual dipasar, toko swalayan ataupun sudah menjadi bahan utama di tukang mi kocok, tukang bakso, atau sudah dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga, memiliki senyawa formalin , sebagai bahan pengawetnya.
Bahan pada mie basah disamping formalin, juga terdapat boraks, yaitu senyawa kimia yang umum digunakan sebagai pengawet kayu agar tidak cepat rusak oleh gangguan jamur atau serangga. Data dan informasi itu baru yang diumumkan di daerah Jawa Barat, padahal pengguna senyawa pengawet kayu ataupun senyawa lainnya untuk mengawetkan makanan, selama tahun 2002 lalu, baru tercatat 4 jenis dari 29 jenis yang diperiksa. Akan tetapi, pada permulaan tahun 2003 ini langsung melonjak tinggi lebih dari 80% yang positif (mengandung senyawa tersebut).
Senyawa tersebut yang digunakan sebagai bahan pengawet makanan serta tidak dilarang dan diperbolehkan jumlahnya memamg sedikit. Para produsen (penghasil) makanan jadi jarang yang mau menggunakannya, karena mahal, walaupun formalin sebagai pengawet mayat yang disimpan, boraks sebagai pengawet kayu dan rhodamine B pewarna celup, sudah diakui sejak lama sebagai senyawa berbahaya beracun untuk manusia.
Walau misalnya, seseorang memakan formalin atau boraks atau rhodamine B, dalam jangka waktu pendek tidak akan mengalami keracunan. Akan tetapi satu ketika, setelah kadar tersebut cukup banyak tertimbun dan melebihi ambang batas, pada saat itulah senyawa yang tertimbun pada tubuh akan berubah sifatnya menjadi “karsinogen” atau ”karsinogenetik” yang antara lain dapat merangsang terjadinya kanker terutama kanker hati. Dari segi inilah, barangkali seorang dokter ahli dibidang kanker menyatakan mengapa kasus kanker hati di Indonesia setiap tahun terus meningkat, disertai jumlah kematian yang juga terus bertambah.
Bukan hanya di Jawa Barat, para petugas BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) setiap saat melakukan pemantauan, pemeriksaan, dan pengontrolan terhadap berbagai jenis makanan dan obat-obatan yang beredar. Namun, ketentuan tersebut sudah umum “dilanggar” oleh para produsen, terutama produsen makanan-minuman kecil yang berada dilingkungan pemukiman. Karena tidak tahu atau kurang memahami, banyak jenis makanan jadi sejak lama ditambah zat pengawet. Tahun 1970-1980 an misalnya, ada yang menambahkan larutan formalin pada air untuk meredam tahu agar lebih awet dan tidak cepat membusuk. Untuk serangga hama ataupun binatang pengganggu seperti tikus, akibatnya dalam hitungan menit atau jam, binatang tersebut akan sakit, kejang-kejang kemudian mati. Berbeda untuk manusia, karena dosis (takaran) yang digunakan rendah, memerlukan waktu beberpa hari atau minggu atau bulan. Bahkan, mungkin tahunan, berakumulasi (menimbun) sampai akhirnya benar-benar senyawa tersebut dapat menyebabkan kanker, terutama kanker hati. Inilah masalah yang belum/tidak disadari pada prodisen makanan yang menambahkan senyawa beracun (contoh larutan formalin) pada makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti tahu dan mie basah.
Kadang-kadang sukar dibedakan mana produk makanan jadi yang diawetkan dengan larutan formalin atau senyawa lainnya. Apalagi perdagangan mie basah dan terasi merupakan bisnis yang meluas dimasyarakat. Seperti mie basah dengan harga yang lebih murah kalau dibandingkan mie kering . Atau terasi berwarna merah (karena diberi pengawet rhodamine B untuk bahan celup kain atau pewarna merah kertas), juga dengan harga yang lebih murah kalau dibandingkan terasi asal Cirebon atau terasi ikan asal Sidoarjo. Harus diingat bahwa senyawa pengawet yang ditambahkan adalah racun bukan hanya untuk manusia, juga hewan lainnya kalau termakan.
Inilah formalin, senyawa kimia yang lebih umum dikenal sebagai pengawet mayat di kamar mayat sebelum dibawah oleh keluarganya. Akan tetapi sekarang, mengapa ada pengusaha atau pedagang yang tega menggunakan formalin (senyawa pengawet) tersebut, bukan untuk pengawet mayat tetapi justru untuk pengawet makanan???
Dari data dan informasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Departemen Kesehatan yang beredar/sudah disiarkan oleh beberapa media masa, tercatat lebih dari 80% (86,2%) mie basah yang banyak dijual dipasar, toko swalayan ataupun sudah menjadi bahan utama di tukang mi kocok, tukang bakso, atau sudah dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga, memiliki senyawa formalin , sebagai bahan pengawetnya.
Bahan pada mie basah disamping formalin, juga terdapat boraks, yaitu senyawa kimia yang umum digunakan sebagai pengawet kayu agar tidak cepat rusak oleh gangguan jamur atau serangga. Data dan informasi itu baru yang diumumkan di daerah Jawa Barat, padahal pengguna senyawa pengawet kayu ataupun senyawa lainnya untuk mengawetkan makanan, selama tahun 2002 lalu, baru tercatat 4 jenis dari 29 jenis yang diperiksa. Akan tetapi, pada permulaan tahun 2003 ini langsung melonjak tinggi lebih dari 80% yang positif (mengandung senyawa tersebut).
Senyawa tersebut yang digunakan sebagai bahan pengawet makanan serta tidak dilarang dan diperbolehkan jumlahnya memamg sedikit. Para produsen (penghasil) makanan jadi jarang yang mau menggunakannya, karena mahal, walaupun formalin sebagai pengawet mayat yang disimpan, boraks sebagai pengawet kayu dan rhodamine B pewarna celup, sudah diakui sejak lama sebagai senyawa berbahaya beracun untuk manusia.
Walau misalnya, seseorang memakan formalin atau boraks atau rhodamine B, dalam jangka waktu pendek tidak akan mengalami keracunan. Akan tetapi satu ketika, setelah kadar tersebut cukup banyak tertimbun dan melebihi ambang batas, pada saat itulah senyawa yang tertimbun pada tubuh akan berubah sifatnya menjadi “karsinogen” atau ”karsinogenetik” yang antara lain dapat merangsang terjadinya kanker terutama kanker hati. Dari segi inilah, barangkali seorang dokter ahli dibidang kanker menyatakan mengapa kasus kanker hati di Indonesia setiap tahun terus meningkat, disertai jumlah kematian yang juga terus bertambah.
Bukan hanya di Jawa Barat, para petugas BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) setiap saat melakukan pemantauan, pemeriksaan, dan pengontrolan terhadap berbagai jenis makanan dan obat-obatan yang beredar. Namun, ketentuan tersebut sudah umum “dilanggar” oleh para produsen, terutama produsen makanan-minuman kecil yang berada dilingkungan pemukiman. Karena tidak tahu atau kurang memahami, banyak jenis makanan jadi sejak lama ditambah zat pengawet. Tahun 1970-1980 an misalnya, ada yang menambahkan larutan formalin pada air untuk meredam tahu agar lebih awet dan tidak cepat membusuk. Untuk serangga hama ataupun binatang pengganggu seperti tikus, akibatnya dalam hitungan menit atau jam, binatang tersebut akan sakit, kejang-kejang kemudian mati. Berbeda untuk manusia, karena dosis (takaran) yang digunakan rendah, memerlukan waktu beberpa hari atau minggu atau bulan. Bahkan, mungkin tahunan, berakumulasi (menimbun) sampai akhirnya benar-benar senyawa tersebut dapat menyebabkan kanker, terutama kanker hati. Inilah masalah yang belum/tidak disadari pada prodisen makanan yang menambahkan senyawa beracun (contoh larutan formalin) pada makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti tahu dan mie basah.
Kadang-kadang sukar dibedakan mana produk makanan jadi yang diawetkan dengan larutan formalin atau senyawa lainnya. Apalagi perdagangan mie basah dan terasi merupakan bisnis yang meluas dimasyarakat. Seperti mie basah dengan harga yang lebih murah kalau dibandingkan mie kering . Atau terasi berwarna merah (karena diberi pengawet rhodamine B untuk bahan celup kain atau pewarna merah kertas), juga dengan harga yang lebih murah kalau dibandingkan terasi asal Cirebon atau terasi ikan asal Sidoarjo. Harus diingat bahwa senyawa pengawet yang ditambahkan adalah racun bukan hanya untuk manusia, juga hewan lainnya kalau termakan.
wah nice info!!!
ReplyDelete