Pada tahun 2005 – 2009, luas hutan Papua 42 juta hektar (ha).
Berselang tiga tahun kemudian yakni 2011 luas hutan Papua hanya tersisa 30,07 juta hektar. Informasi yang didapat dari pemerintah daerah, setiap tahun rata-rata deforestasi di Papua sebesar 143.680 ha. Sedangkan laju deforestasi untuk Provinsi Papua Barat per tahun rata – rata sebesar 25 persen atau 293 ribu ha.
Angka-angka di atas memperlihatkan tingkat kehilangan tutupan hutan yang cukup besar. Ekspansi industri yang berbasis lahan seperti penebangan hutan, perkebunan, hutan tanaman dan pertambangan adalah penyebab utamanya selain pemekaran wilayah administrasi pemerintahan. Salah satu proyek ‘ambisius’ yang mengancam hutan Papua adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke yang pada tahap pertama hutan yang akan dibuka seluas 228.022 ha yakni perkebunan sawit milik PT. MEDCO di Manokwari (Sidey) 45.000 ha, perkebunan sawit PT. Hendrison Iriana di Kabupaten Sorong (Klamono) 21.500 ha, PT. Raja Wali Group/PT. Tandan Sawita Papua di Kabupaten Keroom (kampung Yetti) seluas 18.337 ha. Hampir keseluruhan eksploitasi sumber daya alam Papua khususnya hutan menjadi semakin tidak terkontrol karena akses yang sulit dan fasilitas yang minim dari pemerintah, ini juga diperparah dengan perilaku oknum pemerintah yang tidak bijak.
Pola–pola Koperasi Perkayuan/Pengelolaan Kayu Masyarakat (KOPERMAS) yang jelas hanya memanfaatkan masyarakat adat dan praktik ini masih terus terjadi di wilayah Kabupaten Jayapura, Keroom daerah perbatasan, Fakfak, Kaimana, Bintuni, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Wondama Raja Ampat, Kabupate Nabire, Serui, Wapoga/Waropen, Sarmi, Mamberamo, Bonggo, Unurumguay dan Lereh .
Upaya–upaya advokasi yang dilakukan oleh jaringan lembaga non-pemerintah di Papua yang dikoordinir oleh Forum Kerjasama (FOKER) LSM serta Greenpeace, smpai saat ini terus dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat dan meminta pemerintah lebih berkomitmen dalam pelestarian lingkungan khususnya hutan Papua.
Tahun 2006, Greenpeace memulai kampanye di Indonesia dengan mendorong secara luas dilakukannya penyelamatan hutan “surga” Papua. Kapal Rainbow Warrior II mengunjungi Jayapura dan Manokwari untuk menyampaikan pesan penyelamatan hutan, bahkan ketika Rainbow Warrior II singgah di Jakarta, kandidat Gubernur Papua dan Papua barat menyatakan komitmennya untuk penyelamatan hutan Tanah Papua.
Bagi saya sebagai juru kampanye Greenpeace untuk penyelamatan hutan Papua, tugas ini sangat berat namun sangat menantang buat saya. Sebagai “anak adat” adalah kewajiban saya untuk menyelamatkan hutan Papua, namun tanpa dukungan masyarakat seluruh Indonesia, tugas-tugas ini hampir mustahil saya lakukan dan tercapai.
Menyelamatkan hutan Papua berarti menyelamatkan kekayaan alam kita yang tidak ternilai dan juga menyelamatkan akar budaya Papua, lebih luas lagi, hutan Papua memiliki peran penting untuk menstabilkan krisis iklim yang terjadi saat ini.
Berselang tiga tahun kemudian yakni 2011 luas hutan Papua hanya tersisa 30,07 juta hektar. Informasi yang didapat dari pemerintah daerah, setiap tahun rata-rata deforestasi di Papua sebesar 143.680 ha. Sedangkan laju deforestasi untuk Provinsi Papua Barat per tahun rata – rata sebesar 25 persen atau 293 ribu ha.
Angka-angka di atas memperlihatkan tingkat kehilangan tutupan hutan yang cukup besar. Ekspansi industri yang berbasis lahan seperti penebangan hutan, perkebunan, hutan tanaman dan pertambangan adalah penyebab utamanya selain pemekaran wilayah administrasi pemerintahan. Salah satu proyek ‘ambisius’ yang mengancam hutan Papua adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke yang pada tahap pertama hutan yang akan dibuka seluas 228.022 ha yakni perkebunan sawit milik PT. MEDCO di Manokwari (Sidey) 45.000 ha, perkebunan sawit PT. Hendrison Iriana di Kabupaten Sorong (Klamono) 21.500 ha, PT. Raja Wali Group/PT. Tandan Sawita Papua di Kabupaten Keroom (kampung Yetti) seluas 18.337 ha. Hampir keseluruhan eksploitasi sumber daya alam Papua khususnya hutan menjadi semakin tidak terkontrol karena akses yang sulit dan fasilitas yang minim dari pemerintah, ini juga diperparah dengan perilaku oknum pemerintah yang tidak bijak.
Pola–pola Koperasi Perkayuan/Pengelolaan Kayu Masyarakat (KOPERMAS) yang jelas hanya memanfaatkan masyarakat adat dan praktik ini masih terus terjadi di wilayah Kabupaten Jayapura, Keroom daerah perbatasan, Fakfak, Kaimana, Bintuni, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Wondama Raja Ampat, Kabupate Nabire, Serui, Wapoga/Waropen, Sarmi, Mamberamo, Bonggo, Unurumguay dan Lereh .
Upaya–upaya advokasi yang dilakukan oleh jaringan lembaga non-pemerintah di Papua yang dikoordinir oleh Forum Kerjasama (FOKER) LSM serta Greenpeace, smpai saat ini terus dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat dan meminta pemerintah lebih berkomitmen dalam pelestarian lingkungan khususnya hutan Papua.
Tahun 2006, Greenpeace memulai kampanye di Indonesia dengan mendorong secara luas dilakukannya penyelamatan hutan “surga” Papua. Kapal Rainbow Warrior II mengunjungi Jayapura dan Manokwari untuk menyampaikan pesan penyelamatan hutan, bahkan ketika Rainbow Warrior II singgah di Jakarta, kandidat Gubernur Papua dan Papua barat menyatakan komitmennya untuk penyelamatan hutan Tanah Papua.
Bagi saya sebagai juru kampanye Greenpeace untuk penyelamatan hutan Papua, tugas ini sangat berat namun sangat menantang buat saya. Sebagai “anak adat” adalah kewajiban saya untuk menyelamatkan hutan Papua, namun tanpa dukungan masyarakat seluruh Indonesia, tugas-tugas ini hampir mustahil saya lakukan dan tercapai.
Menyelamatkan hutan Papua berarti menyelamatkan kekayaan alam kita yang tidak ternilai dan juga menyelamatkan akar budaya Papua, lebih luas lagi, hutan Papua memiliki peran penting untuk menstabilkan krisis iklim yang terjadi saat ini.
Comments
Post a Comment
Thank you!