Sebelum waktu saya hilang ditelan oleh kesibukan pascasarjana, saya ingin menuliskan bagaimana perjalanan panjang ini dimulai...
Saya menjatuhkan pilihan hidup saya sebagai seorang ilmuwan yang sesungguhnya mungkin akibat dari pemahaman otodidak saya terhadap ilmu yang saya geluti saat ini. Bahkan, ekspektasi saya seakan terlalu tinggi pada dunia riset di Indonesia. Saya seringkali berpikir bahwa saya akan berada dalam laboratorium mewah yang memiliki banyak peralatan canggih seperti yang ada pada film-film fiksi ilmiah setelah menimba ilmu di perguruan tinggi negeri nantinya. Tapi, hal itu sebenarnya tidaklah salah, namun agak kurang pas dan membuat rasa kecewa muncul. Tidak puas dengan apa yang telah saya peroleh selama menimba ilmu di jenjang sarjana, memunculkan semangat yang tinggi untuk terus belajar hingga jenjang tertinggi atau hingga memperoleh gelar doktor.
Sejak menjadi mahasiswa program sarjana, saya selalu berambisi untuk sekolah ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Namun, saya kurang mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk hal tersebut sehingga hasil-hasil yang saya peroleh kurang optimal. Sedikit flashback, menuju ke semester 6. Dibayangi oleh mimpi untuk menyelesaikan doktor sebelum usia 30 tahun dan sekolah ke luar negeri dengan beasiswa penuh, pada semester tersebut saya mulai membangun kontak dengan profesor-profesor di Jepang untuk mencari calon supervisor. Sebuah nama universitas di Pulau Kyushu yang masuk dalam Top Global University Project dari pemerintah Jepang, Kumamoto University, menjadi daya tarik tersendiri karena sebelumnya di tahun 2015, saya mengikuti The 10th International Student Conference on Advanced Science and Technology (ICAST) yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Kumamoto University di Surabaya. Yasss, salah seorang principal investigator dari The International Research Center for Medical Sciences (IRCMS) Kumamoto University merespon dengan baik bahkan memberikan kesempatan saya untuk datang langsung ke Jepang melalui sebuah program magang yang dibiayai penuh oleh IRCMS Kumamoto University. Tapi, sesungguhnya semuanya tidak berjalan sesederhana itu.
Pada akhirnya, saya berhasil menembus ujian masuk Graduate School of Medical Sciences, Kumamoto University. Namun, kegelisahan belum berakhir. Saya gagal mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi disini. Padahal, saya sudah sangat beradaptasi untuk tinggal lebih lama di Kota Kumamoto, program magang dari mereka sangatlah membantu. Disisi lain, sebelumnya saya telah mendaftar untuk beasiswa INPEX Scholarship Foundation, namun karena tingkat keketatan yang tinggi akhirnya saya terlempar. Sejenak saya masih menyimpan asa di Beasiswa Unggulan, namun pada tahun ini beasiswa tersebut tidak lagi membiayai mahasiswa yang studi ke luar negeri. Sebenarnya, di Graduate School of Medical Sciences Kumamoto University tersedia Beasiswa Monbukagakusho (University Recommendation), namun skema beasiswa ini hanya untuk program doktoral. Beberapa waktu sebelum saya mendapatkan LoA dari Kumamoto University, saya mencoba mendaftar Beasiswa Monbukagakusho untuk program 5 tahun jenjang magister dan doktoral di Osaka University pada Biotechnology Global Human Resource Development Program. Namun, pada akhirnya saya gagal. Saya gagal karena kurang baik dalam persiapan, meskipun semua persyaratan telah saya penuhi. Selain itu, tidak adanya kerjasama yang dijalin antara universitas asal saya dengan Osaka University juga turut berperan dalam hal ini.
Waktu seperti berjalan sangat cepat, saya tetap semangat dan tidak pernah menyerah. Saya memberi deadline pada diri saya untuk harus memulai studi di jenjang magister pada tahun 2017 dengan harapan agar saya tidak terlalu lama membuang waktu hanya untuk mencari beasiswa. Thailand dan Taiwan adalah dua negara berikutnya yang menjadi tujuan. Saya mencoba untuk mengikuti seleksi Beasiswa Thailand's Education Hub for Southern Region of ASEAN Countries (TEH-AC) di Prince of Songkla University dengan memilih program studi Molecular Biology and Bioinformatics (International Program). Saya berhasil menembus seleksi masuk universitas, namun lagi-lagi saya terlempar di seleksi beasiswa. Beralih ke Taiwan, saya memilih sebuah program magister yang sebenarnya paling saya sukai karena unik dan tidak semua universitas menyediakan, yaitu Tropical Medicine atau Kedokteran Tropis. Saya berhasil menembus seleksi universitas dan dari sejumlah calon mahasiswa yang lolos, saya adalah satu-satunya yang bukan seorang dokter. Pada kesempatan ini, saya mencoba melamar dua buah beasiswa, yaitu Taiwan ICDF Higher Education Scholarship Program dan Kaohsiung Medical University International Students Scholarship. Saya masuk dalam waiting list pada Taiwan ICDF Higher Education Scholarship Program dan akhirnya saya lagi-lagi mengalami kegagalan, tapi saya berhasil mendapatkan Kaohsiung Medical University International Students Scholarship (Type B). Namun, beasiswa ini adalah Type B (Type A hanya untuk program doktor) yang hanya membiayai dormitory dan biaya kuliah selama satu tahun serta tidak termasuk biaya hidup, akhirnya saya putuskan untuk mundur dari Kaohsiung Medical University. Saya pernah berpikir kenapa saya selalu gagal, padahal saya telah memenuhi semua dokumen-dokumen yang disyaratkan untuk seleksi dengan sangat baik.
Tanpa kehilangan semangat, saya harus realistis jika masih ingin melanjutkan studi ke jenjang magister tahun ini, saya harus mengikuti ujian yang diadakan oleh perguruan tinggi di dalam negeri. Lalu saya menjatuhkan pilihan perjuangan pertama menembus perguruan tinggi di dalam negeri pada program studi Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (UI). Saya memilih peminatan imunologi pada kesempatan ini, agar topik penelitian saya masih sejalur dengan topik yang dikerjakan oleh profesor saya di Jepang. Sebelumnya saya sangat khawatir apakah bisa diterima karena saya mengalami kenyataan pahit saat mengikuti SIMAK UI jenjang sarjana beberapa tahun silam. Selain itu, ujian masuk UI adalah salah satu yang tersulit di Indonesia. Namun, ternyata saya bisa lolos untuk menembus SIMAK UI jenjang magister. Mungkin terasa banyak terdapat faktor keberuntungan, tapi apapunitu hasilnya adalah saya berhasil diterima.
Perjuangan yang sebenarnya masih berlanjut, keinginan saya melanjutkan studi dengan beasiswa sangatlah tinggi. Sebelum ini, saya telah memutuskan untuk berhenti dalam perjuangan studi ke luar negeri setelah saya membaca informasi mengenai Beasiswa PMDSU Batch III. Promotor-promotor yang ditunjuk oleh Ristekdikti telah dirilis sebelumnya dan saya melihat ada nama-nama promotor dengan sepak terjang di dunia riset yang hebat, termasuk beberapa orang promotor di Universitas Airlangga (termasuk promotor saya). Beasiswa PMDSU adalah singkatan dari Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul, ini merupakan program beasiswa dari Ristekdikti yang dicetak untuk melahirkan doktor-doktor muda berkualitas yang akan menjadi motor penggerak penelitian di Indonesia. Setelah sekian lama menunggu setelah menjalani seleksi yang sesuai dengan standar program doktor, akhirnya saya berhasil mendapatkan Beasiswa PMDSU Batch III. Dalam hidup ini, tidak semua hal mungkin dapat kita raih. Setiap kegagalan demi kegagalan dalam perjalanan hidup saya, membuat saya belajar dan memetik banyak pelajaran berharga didalamnya. Ini bukanlah pencapaian akhir, namun justru awal dari sebuah perjalanan panjang berikutnya yang akan membawa ke arah yang lebih baik bagi masa depan. Sebuah perjalan menuju program doktor yang mungkin akan menjadi perjalan terberat yang pernah saya lalui selama hidup.
Saya Arif, awardee Beasiswa PMDSU Batch III, mari berkolaborasi riset pada bidang life sciences dan membangun Bangsa Indonesia!
Saya Arif, awardee Beasiswa PMDSU Batch III, mari berkolaborasi riset pada bidang life sciences dan membangun Bangsa Indonesia!
Link kolaborasi: arifnma-17.wixsite.com/home
"Fall down seven times, stand up eight."
- Japanese proverb
Comments
Post a Comment
Thank you!