Skip to main content

Menjadi Minoritas di Negeri Sakura

Saya benar-benar tidak pernah memikirkan hal ini, hingga saya pergi ke Jepang untuk menikmati research internship program dari IRCMS-Kumamoto University. Memijakkan kaki di negara yang mayoritas beragama Shinto dan Buddha, saya mendadak menjadi golongan minoritas karena saya beragama Islam.

Saya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup menjadi minoritas di Indonesia karena saya adalah tiyang jawi atau orang jawa yang beragama Islam dan belum pernah tinggal di daerah dimana saya menjadi golongan minoritas. Sebelum membaca lebih jauh, ada hal yang harus Anda ketahui bahwa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan. Republik Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Khonghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Mayoritas penduduk Indonesia yang merupakan pemeluk agama Islam mengakibatkan saya merasa menjadi mayoritas dan kadang membuat saya tidak acuh dengan agama lain. Bukanlah merupakan contoh yang baik, tapi inilah yang saya alami. Namun, tenang saja, karena dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya"

Bunga-bunga cantik yang bermekaran di penghujung musim dingin

Menjadi golongan mayoritas di Indonesia tentunya memiliki banyak kelebihan. Makanan-makanan halal banyak ditemui bahkan hampir semua makanan pasti halal, masjid untuk salat berjamaah tersedia dimana-mana atau mungkin musala di tempat kerja dan tempat-tempat umum lainnya pasti tersedia, serta kumandang azan senantiasa terdengar untuk pengingat waktu salat telah tiba. Selain itu, libur-libur nasional yang berkaitan dengan hari besar agama. Saya merasa sangat minoritas di Jepang ketika saya merasa sulit menemukan makanan halal, ketika saya harus menjamak salat karena tidak ada tempat yang sesuai untuk beribadah, serta ketika saya harus berjuang untuk wudu melalui wastafel karena tidak adanya tempat khusus untuk wudu. Tidak hanya itu, saya harus bersepeda sejauh 5 kilometer menembus dinginnya suhu di luar ruangan yang mencapai 0 atau bahkan -1 derajat Celcius untuk melaksanakan salat Jumat di masjid terdekat (Masjid Kumamoto). Walaupun terkadang saya beruntung, mahasiswa PhD dari Mesir yang ada di lab saya memiliki teman yang biasanya menjemput kami untuk berangkat bersama ke masjid. Tentang Masjid Kumamoto, masjid ini diresmikan awal Maret 2013 oleh Duta Besar Arab Saudi untuk Jepang, salah satu penggagas terbangunnya masjid ini adalah orang-orang Indonesia yang berada di Kumamoto.  

 
Kondisi Masjid Kumamoto saat Salat Jumat

Farewell Party yang digagas oleh PPIJ-Kumamoto di Masjid Kumamoto, terima kasih PPIJ-Kumamoto!

Pada awalnya saya sempat mengeluh karena pada kenyataannya menjadi minoritas itu sulit dan penuh perjuangan, lama-kelamaan saya terbiasa dan tetap bersemangat penuh. Beruntungnya, Profesor saya tidak mempermasalahkan waktu yang harus saya gunakan untuk salat. Selain itu, orang-orang Jepang sangat memiliki toleransi yang tinggi, mereka tidak mempermasalahkan saya untuk salat di sudut-sudut kosong ruangan kerja atau lab dan mereka tidak berisik karena mengetahui saya sedang melaksanakan ibadah. Namun, tidak semua tempat memiliki iklim seperti itu, cerita-cerita dari mahasiswa di tempat yang lain kadang berbalik 180 derajat.  

Kondisi-kondisi diatas benar-benar membuat saya belajar dan tersadar untuk lebih mengerti kondisi golongan-golongan minoritas di Indonesia. Tidak terbatasi pada persoalan agama saja tetapi termasuk juga etnis-etnis tertentu yang selama ini selalu menjadi korban golongan-golongan mayoritas yang sering memaksakan kehendak dan lupa untuk bertoleransi. Republik Indonesia memiliki semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Seharusnya hal ini tidak hanya menjadi semboyan tanpa adanya implementasi, bangsa ini harus senantiasa belajar, bahwa mayoritas harus melindungi yang minoritas dan minoritas harus menghargai yang mayoritas. Kita seharusnya saling melindungi, menghargai, dan menghormati. Bersatulah Indonesia-ku!
 
Ditanyakan kepada Rasulullah s.a.w.: "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?", maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)".
 
See you again, Kumamoto!

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Dari Laron

Allah SWT menciptakan makhlukNya dan menata alam semesta dengan begitu sempurna.

Percobaan Ingenhousz - Fotosintesis

Tujuan :   Untuk membuktikan adanya gas oksigen sebagai hasil proses fotosintesis.   Untuk mengetahui pengaruh suhu, intensitas cahaya, dan NaHCO 3 terhadap kecepatan proses fotosintesis.

Sebuah Pelajaran Dari Bencana Tsunami

G empa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9 pada skala Richter. Gempa tersebut beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra untuk membentuk gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles, dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah "tsunami," yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksa...